Dari Katsir bin Qais, dia berkata : “Ketika aku sedang duduk disebelah
Abu Darda’ di Masjid Damaskus. Tiba – tiba datang seorang laki – laki
kepadanya, lalu laki – laki itu berkata : “Wahai Abu Darda’, Aku datang
kepada mu dari kota Madinah –kota Madinah Rasulullah- untuk keperluan
sebuah hadits yang sampai kepada ku bahwa engkau pernah meriwayatkan nya
dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.”
Abu Darda’ berkata : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk berdagang?”
Dia menjawab : “Tidak”
Abu Darda’ berkata lagi : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk keperluan selain itu?”
Dia (laki – laki itu) menjawab : “Tidak”
Abu Darda’ berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap nya. Karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada didalam air. Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.”
Abu Darda’ berkata : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk berdagang?”
Dia menjawab : “Tidak”
Abu Darda’ berkata lagi : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk keperluan selain itu?”
Dia (laki – laki itu) menjawab : “Tidak”
Abu Darda’ berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap nya. Karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada didalam air. Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.”
Ada beberapa keadaan yang berkaitan dengan masalah bertanya kepada
ahli ilmu.
Tentu manusia butuh untuk bertanya, namun pertanyaan ini bisa
bermacam-macam keadaan.
Keadaan yang berkaitan dengan penanya, serta
keadaan yang berkaitan dengan orang yang ditanya.
Adapun bagi penanya, hendaknya ia memperhatikan adab-adab sehingga
orang yang ditanya dapat menjawab dengan jawaban yang pas dan benar -Insya Allah-. Oleh karena, wajib bagi penanya untuk memperhatikan beberapa adab-adab dalam bertanya, mau tahu ini lah dia diantaranya adalah:
Persiapkan pertanyaan dengan baik
Salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya
adalah bertanya dengan pertanyaan yang jelas dan tidak samar, yaitu
menjelaskan duduk permasalahan sebelum bertanya. Perlu digaris-bawahi
bahwa sebagian kaum muslimin ketika mendapatkan masalah atau musykilah
(keraguan), lantas ia mendatangi ahli ilmu dan langsung bertanya tanpa
mempersiapkan rincian permasalahannya. Atau terkadang, ia langsung
menyalakan telepon lalu bertanya tentang hal yang mengganggunya tanpa
menjelaskan keadaan yang berhubungan dengan pertanyaan. Atau ketika ia
hendak meminta penjelasan, ia mendatangi orang alim lalu bertanya dengan
beberapa rincian saja, lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak tahu tentang hal ini wahai orang alim, nasehatilah saya“. Demikian. Tentu orang alim tadi menjawab: “Saya tidak tahu“.
Maka penanya hendaknya mempersiapkan rincian pertanyaan sebelum
bertanya. Karena pertanyaan yang kamu tanyakan adalah tentang hukum
Allah Jalla Wa ‘Ala, yang jika kamu mendapatkan jawabannya kamu
akan terbebas dari kesusahan. Dan orang alim yang ditanya pun
mendapatkan gambaran pertanyaan dengan jelas. Karena jika tidak jelas,
bagaimana mungkin ia dapat menjawab hal yang belum jelas?
Memperhatikan waktu ahli ilmu
Dengan demikian, hendaknya yang pertama dilakukan
oleh penanya adalah mempersiapkan pertanyaan dengan baik dan bahasa yang
sesingkat mungkin. Jangan kamu mengira bahwa orang yang biasa ditanya
masalah agama, yaitu mufti atau para thalibul ilmi
yang dapat menjawab pertanyaan, janganlah kamu mengira mereka itu hanya
ditanya satu atau dua pertanyaan saja. Di zaman ini, dengan telepon,
pada ahli ilmu memungkinkan untuk dihubungi baik dari daerah sendiri
atau dari luar daerah. Bahkan mereka ditanya puluhan ribu kali dalam
setahun, atau 20-30 pertanyaan sehari. Oleh karena itu, salah satu adab
yang mesti diperhatikan oleh penanya, hendaknya penanya menyadari
sempitnya waktu sang mufti tersebut, dan sempitnya waktu yang ia miliki
untuk melayani pertanyaan.
Hendaknya ia mempersiapkan pertanyaan dengan bahasa yang jelas dan
tidak samar serta bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sang mufti yang
terbatas itu, sehingga pertanyaan yang ia sampaikan jadi bermanfaat.
Dengan kata lain, jangan kamu berpikiran bahwa yang dibalas teleponnya
atau dijawab pertanyaannya hanyalah kamu satu-satunya. Bahkan hendaknya kamu menyadari bahwa yang bertanya kepada sang mufti ada puluhan orang
yang bertanya setiap waktu. Sehingga wajib baginya memperhatikan kondisi
dan adab, terutama dalam menyingkat pertanyaan. Dan jawaban pun
tergantung dari pertanyaan yang disampaikan. Jika pertanyaan jelas,
jawaban pun akan jelas. Oleh karena itu, kamu lihat bahwa pertanyaan
Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
merupakan dalil anjuran untuk bertanya dengan jelas dan dalil bahwa
jawaban yang jelas itu dibangun dari pertanyaan yang jelas. Jibril ‘Alaihissalam bertanya kepada Nabi: “Kabarkan kepadaku tentang Islam“, ini pertanyaan yang jelas dan ringkas. Lalu “Kabarkan kepadaku tentang iman“, “Kabarkan kepadaku tentang ihsan“, “Apa tanda-tanda kiamat?“,
dan semisal itu. Ini semua pertanyaan yang jelas, bahasa ringkas, dan
diawali dengan rincian serta pertanyaan yang jelas sebelum bertanya.
Inilah adab yang mestinya diperhatikan.
Kebanyakan yang terjadi, ketika jawaban seorang mufti tidak jelas itu
disebabkan oleh pertanyaan yang tidak jelas. Andai penanya bertanya
dengan mempersiapkan pertanyaan dengan baik lalu baru bertanya, tentu
jawaban akan jelas.
Tidak bertanya yang sudah diketahui
Adab lain yang perlu diperhatikan oleh penanya
adalah tidak bertanya tentang sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya.
Sebagian penuntut ilmu, atau orang yang sudah bisa menelaah masalah,
terkadang sudah pernah menelaah sebuah masalah dan mengetahui
pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, namun ia datang
kepada mufti lalu bertanya. Jika sang mufti menjawab dengan jawaban yang
sesuai dengan salah satu pendapat yang ada, namun terdapat pendapat
ulama yang berlainan, si penanya berkata: “Apa dalil jawaban anda?“. Jika dalilnya dijelaskan, si penanya pun membantah dalil tersebut, atau ditentang dengan dalil lain, atau ia berkata “Sebagian ulama berkata tidak demikian“,
atau semacamnya. Bedakanlah antara bertanya untuk mengambil manfaat
atau untuk mengajari -padahal kamu orang yang tidak tahu- atau untuk
mengajak diskusi. Karena bukan itu (melayani debat, pent.) tugas seorang
ulama.
Dan kamu pun belum membuka diskusi misalnya dengan berkata: ‘Saya ingin mengajak anda berdiskusi tentang masalah ini‘. Apa yang dimaksud mengajak diskusi? Maksudnya ‘aku
akan berdebat denganmu, agar engkau tahu apa pendapat dan dalilku dan
aku tahu pendapat dan dalilmu, sampai kita bertemu titik kebenaran‘.
Bukan ini yang diharapkan, terlebih lagi hal ini merupakan sikap tidak
sopan terhadap ahli ilmu. Karena perbuatan tersebut termasuk melukai hak
seorang ulama, kecuali jika kamu memaparkan bahwa kamu ingin meminta
bantuan beliau untuk meneliti sebuah permasalahan. Jika demikian, kamu
memiliki sebuah penelitian, dari penelitian itu dikeluarkan pertanyaan
untuk diminta fatwa dari sang mufti,kamu bertanya, mufti menjawab dan
menjelaskan.
Sikap gemar bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya ini
terkadang juga terjadi di kalangan para penuntut ilmu di majelis ilmu .Ia
mengetahui jawabannya namun tetap bertanya agar orang lain tahu bahwa
ia mengajukan pertanyaan yang bagus, atau semisal itu. Mulai dari
sekarang, kurangilah bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya, dan
bertanyalah pada hal yang belum tahu saja. Demikianlah adabnya. Oleh
karena itu Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu”
Jika sudah tahu, jangan bertanya. Karena kamu sudah punya ilmunya,
dan waktu seorang mufti atau seorang penuntut ilmu itu dapat digunakan
untuk kepentingan dan kewajiban lain yang sangat banyak. Sehingga ia
dapat menghemat waktu untuk aktifitas yang lainnya.
Cukup bertanya kepada satu orang ahli ilmu yang dipercaya
Adab lain yang mesti diperhatikan adalah jangan
menyebutkan pendapat mufti lain kepada mufti yang ditanya. Sebagian
orang bertanya lewat telepon sekali, setelah itu bertanya lagi kepada
yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi
kepada yang lain. Akhirnya ia pun bingung. Karena bingung, akhirnya ia
pun memilih jawaban yang paling enak dan ringan. Ini tidak patut.
Hendaknya penanya jika memiliki pertanyaan ia datang kepada seorang alim
yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Sebagaimana
perkataan para ulama:
ينبغي للمستفتي أنْ يسأل من يثق بعلمه ودينه
“Hendaknya penanya itu bertanya kepada orang yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya”
Jika kamu percaya kepada Fulan maka tanyalah ia, lalu setelah itu
jangan tanya lagi kepada yang lain. Karena jika kamu bertanya kepada
yang lain, kadang akan mendapatkan jawaban berbeda yang membuat kamu
bingung.
Terkadang kamu boleh bertanya kepada lebih dari satu orang, jika
jawaban pertama itu meragukan dari sisi dalil. Yaitu jika penanya
memiliki sedikit ilmu tentang dalil lalu jawaban pertama agak meragukan
dari sisi dalil, maka boleh bertanya kepada yang lain. Karena dalam hal
ini, apakah jawaban yang membuat kamu puas bukanlah yang cocok dengan
kondisi kamu, atau jawaban yang tidak sulit mengamalkannya, atau karena kamu berniat mencari-cari jawaban yang paling enak dan ringan? Tidak,
namun dari sisi adanya keraguan apakah jawaban tersebut memang
benar-benar sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam atau tidak? Ini terjadi jika penanya tahu sebagian dalil yang bertentangan dengan jawaban pertama.
Oleh karena ini, merupakan adab dalam bertanya adalah tidak bertanya
kepada lebih dari satu orang alim untuk satu pertanyaan, karena dapat
berakibat:
- Membuang-buang waktu orang alim
- Dapat menyebabkan penanya kebingungan. Kebanyakan mereka berkata: “Saya sudah lelah bertanya namun masih bingung. Mufti A berkata demikian, Mufti B berkata demikian“. Kita katakan: “Kamu yang salah dari awal. Karena kamu bertanya kepada lebih dari satu orang alim. Tanyalah kepada orang alim yang kamu percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Ambillah fatwanya dan kamu pun tidak ada beban lagi di hadapan Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada kamu adalah bertanya kepada ahli dzikir, dan kamu telah melaksanakannya. Janganlah menambah-nambah beban bagi diri mu”
Bertanya dengan lugas, tidak berputar-putar
Adab lain yang juga mesti diperhatikan adalah tidak
bertanya dengan pertanyaan yang berputar-putar. Misalnya seseorang
bertanya: “Ada orang yaitu si Fulan, ia mengalami ini dan itu…”.
Padahal penanya ini ingin menanyakan permasalahan yang terjadi padanya
dengan memberikan pertanyaan yang kasusnya mirip. Penanya ini mengira,
jika pertanyaan ini dijawab, maka jawaban itu berlaku juga untuk
dirinya. Padahal pada kenyataannya masalah yang dimiliki si penanya
berbeda dengan yang ditanyakan, namun si penanya mengira sama. Orang
alim yang ditanya pun tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya dan ia
tidak tahu bahwa yang butuh solusi adalah si penanya itu, akhirnya orang
alim ini menjawab secara umum saja.
Bertanya kepada ahli ilmu bukanlah aib, bahkan itu perbuatan mulia.
Karena menunjukkan bahwa si penanya bersemangat dalam kebaikan dan untuk
terlepas dari bebannya, sehingga dapat meringankan kesulitan ia kelak
ketika menghadap Allah Ta’ala. Ketika kamu bertanya, janganlah
bertanya dengan berputar-putar. Tanyalah secara jelas sesuai dengan
kenyataan yang ada, janganlah segan. Sebagian shahabiyyah pernah
bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang haid,
tentang kehamilan bagaimana hukumnya, dll. Dalam pertanyaan bukanlah
tempatnya untuk malu-malu. Malu itu memang terpuji, namun jika malu itu
dapat menjauhkan kamu dari ilmu tentang hukum Allah maka saat itu malu
tidak terpuji, sebagaimana terdapat dalam hadits.
Jika demikian, termasuk adab yang mesti diperhatikan oleh penanya
adalah bertanya sesuai dengan kebutuhannya. Jangan mengira bahwa jika kamu memutar-mutar pertanyaan, kamu akan mendapatkan jawaban yang sesuai
dengan kebutuhan kamu. Padahal sebaliknya, ternyata jika permasalahan
atau kejadian itu dijelaskan dengan jelas justru akan didapatkan jawaban
yang 100% berbeda. Oleh karena itu jangan berputar-putar ketika
bertanya kepada ahli ilmu, baik dalam permasalahan fiqih, masalah
pribadai atau yang berkaitan dengan kejadian-kejadian.
Bertanyalah dengan jelas, dan ini termasuk menghormati ahli ilmu serta merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban yang benar. Adapun jika kita ‘membodohi’ para ahli ilmu sehingga kita mendapatkan jawaban mereka, ini bukan sikap yang layak. Yang layak adalah memuliakan mereka. Perbuatan ini pun membuat kamu belum terlepas dari beban untuk bertanya kepada ahli ilmu. Karena kamu yang telah membuat orang alim tersebut menjawab, padahal jika kamu menjelaskan pertanyaan sesuai keadaan sebenarnya terkadang jawabannya berbeda. Oleh karena itu, kamu belum bebas dari beban
Bertanyalah dengan jelas, dan ini termasuk menghormati ahli ilmu serta merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban yang benar. Adapun jika kita ‘membodohi’ para ahli ilmu sehingga kita mendapatkan jawaban mereka, ini bukan sikap yang layak. Yang layak adalah memuliakan mereka. Perbuatan ini pun membuat kamu belum terlepas dari beban untuk bertanya kepada ahli ilmu. Karena kamu yang telah membuat orang alim tersebut menjawab, padahal jika kamu menjelaskan pertanyaan sesuai keadaan sebenarnya terkadang jawabannya berbeda. Oleh karena itu, kamu belum bebas dari beban
Dari hal ini, dapat kita memandang bahwa permasalahan-permasalahan yang
terjadi berupa dipertentangkannya fatwa-fatwa ulama, baik dalam masalah
fiqih, masalah aktual, masalah sosial, atau yang lain, adalah karena
orang yang bertanya menggunakan pertanyaan yang berputar-putar dan
menyamarkan sang mufti. Yang dimaksud bukanlah yang ditanyakan. Sikap
ini tidaklah layak. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kita dengan
perintah yang jelas, yaitu bertanya. Sedangkan perbuatan ini termasuk
melampaui batas dari yang selayaknya, yaitu bertanya dengan adab yang
baik.
Bertanya untuk diri sendiri
Adab lain yang semestinya diperhatikan ketika
bertanya adalah hendaknya penanya bertanya untuk dirinya dan bukan untuk
orang lain. Banyak penanya yang berkata: “Temanku titip pesan, ia bertanya tentang ini dan itu…”. Atau ia berkata: “Jika
Fulan -yaitu teman kerjanya- demikian, maka ia akan mengalami demikian
dan demikian, ia titip pesan untuk menanyakannya kepada anda”.
Keadaannya bisa bermacam-macam. Padahal seorang mufti tentu akan meminta
rincian, dan tentu ia akan bertanya tentang rincian itu, misalnya: “Bagaimana kejadian sebenarnya?”, atau “Apakah kejadiannya seperti ini dan itu?”.
Jika penanya ini bukanlah orang yang memiliki pertanyaan, ia tentu
tidak bisa menjawab pertanyaan tentang rincian tersebut, melainkan hanya
tahu sebatas pertanyaan singkat yang diberikan.
Dan terkadang, hal yang dapat membuat penanya yang sebenarnya
langsung bertanya kepada orang alim adalah adanya keseganan atau rasa
malu. Sebagaimana yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, ia lelaki yang sering keluar banyak madzi. Namun ia malu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam karena Nabi adalah mertuanya. Ali pun segan dan malu untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
tentang hal yang berhubungan dengan perihal suami-istri ini. Maka Ali
pun mengutus Miqdad untuk menanyakan kepada Nabi tentang masalah ini.
Lalu Nabi menjawab. Kemudian Miqdad Radhiallahu’anhu menukilkan jawaban tersebut kepada Ali Radhiallahu’anhu.
Jika demikian, pada asalnya seseorang hendaknya tidak bertanya
kecuali yang khusus untuk dirinya. Karena jawaban pertanyaan bisa
berbeda-beda tergantung penanya dan tergantung konteks pertanyaan.
Selain itu, orang yang dipesankan pertanyaan tidak selalu pasti bisa
menjelaskan jawaban sesuai dengan yang sebenarnya. Dan kebanyakan dari
kondisi ini, jawaban dari fatwa bisa didapatkan jika pertanyaan ini
tidak ada kesamaran dalam konteks pertanyaan.
Jangan terburu-buru minta dijawab dengan segera
Adab lain yang semestinya diperhatikan adalah jika kamu bertanya kepada ahli ilmu lewat telepon atau bukan lewat telepon,
janganlah meminta untuk dijawab dengan segera secara tertulis atau
dijawab dalam rekaman, kecuali jika orang alim tersebut mengizinkan.
Kejadian ini sering saya dapati berkali-kali, yaitu sebagian ikhwah
mereka merekam jawaban dari ahli ilmu dengan cara yang tidak layak. Hal
ini dikarenakan seorang alim hanya menjawab sesuai kadar pertanyaan dari
si penanya. Yang bisa jadi, jika orang alim ini sebelumnya diberitahu
bahwa jawaban beliau itu direkam dan akan diperdengarkan kepada orang
banyak, jawabannya akan berbeda. Dan hal ini termasuk kurang hormat
kepada ahli ilmu dan kurang memperhatikan adab terhadap mereka, yaitu
merekam jawaban dari ahli ilmu dengan telepon atau tulisan, lalu
disebarkan tanpa izin mereka. Karena ahli ilmu memiliki hak untuk
memutuskan fatwanya boleh disebar secara penuh kepada orang banyak atau
tidak. Dan penanya hendaknya bertanya khusus untuk dirinya. Jika kamu
memang ingin merekamnya, hendaknya diawal pertanyaan kamu mengatakan: “Semoga
Allah memberikan kebaikan untuk anda. Saya bermaksud untuk merekam
jawaban anda dalam rekaman, dan rekaman akan dimulai dari sekarang”. Jika beliau memang mengizinkan, maka kamu telah melakukan adab yang selayaknya.
Kemudian jangan berlaku kurang hormat serta membuat duduk perkaranya
kurang jelas, yaitu seseorang memanfaatkan beberapa kesempatan, merekam
jawaban dari ahli ilmu, yang sebenarnya tidak disukai oleh ahli ilmu
yang memfatwakannya. Hal ini berkali-kali terjadi, ketika ahli ilmu
tersebut dikonfirmasi mengenai rekaman fatwa tadi, ia berkata: “Saya tidak pernah berkata demikian secara rinci, karena dalam masalah ini ada perincian”.
Nah coba perhatikan, jawaban di rekaman sudah jelas, namun mengapa ahli
ilmu tersebut mengatakan dalam masalah tersebut masih ada perincian?
Jawabannya, karena sekarang beliau sudah memiliki gambaran permasalahan
sebenarnya, namun saat penanya bertanya lewat telepon beliau mengira
pertanyaan ini bukanlah tentang diri si penanya tersebut.
Kita diperintahkan untuk menghormati ahli ilmu, sebagaimana terdapat
dalam banyak atsar dari tabi’in yang menyatakan demikian. Dan termasuk
dalam sikap hormat terhadap ahli ilmu adalah tidak bersikap lancang
dengan menyebarkan rekaman perkataan mereka, atau menulisnya, kecuali
ada penyataan dari mereka boleh untuk melakukannya. Demikian juga yang
berupa rekaman syarah (penjelasan) tentang suatu masalah, seharusnya di
serahkan dahulu kepada ahli ilmu tersebut, biar beliau yang memutuskan
apakah akan disebarkan, akan di-edit, dihapus, atau boleh direkam
semuanya. Seharusnya demikian. Karena terkadang, sebuah ilmu itu
bermanfaat bagi sebagian kecil orang, namun tidak bermanfaat bagi
sebagian besar orang. Karena kebanyakan orang, yaitu masyarakat,
berbeda-beda tingkatan pemahamannya.
Karena seorang alim, ketika akan berbicara, ia melihat keadaan audiens yang ada. Demikianlah. Jika seorang ulama sudah diberitahu bahwa jawabannya akan disebarkan kepada masyarakat yang berbeda-beda tingkat pemahamannya, ia akan menjawab dengan jawaban yang berbeda.
Karena seorang alim, ketika akan berbicara, ia melihat keadaan audiens yang ada. Demikianlah. Jika seorang ulama sudah diberitahu bahwa jawabannya akan disebarkan kepada masyarakat yang berbeda-beda tingkat pemahamannya, ia akan menjawab dengan jawaban yang berbeda.
Oleh karena itu, jika kamu perhatikan, maka kamu akan menemukan seorang ulama memiliki jawaban berbeda antara menjawab
pertanyaan lewat telepon dengan jawaban yang kamu dengar dari suatu acara. Bisa jadi pada jawaban tersebut memang terdapat tafshil (rincian), dalil (pendalilan lain), ta’lil (sisi alasan lain), atau semacamnya. Sehingga pada suatu acara misalnya, mufti akan menjawab dengan lengkap. Sedangkan jawaban beliau terhadap kamu lewat telepon/sms/fb/twitter cukup sekedar jawaban “ini benar”, atau “ini tidak benar”, atau “boleh”, atau “ini tidak boleh”, atau “yang sunnah adalah begini, (secara ringkas)”, karena waktunya sempit untuk menjawab dengan rinci kepada semua orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar