Kamis, 01 Agustus 2013
Bahaya Konsumtif Menjelang Hari Raya
Allah SWT menyediakan Ramadan bagi manusia. Keutamaan Ramadan telah diberitakan melalui Alquran dan hadis. Karena sangat pentingnya amalan puasa pada Ramadan, ia menjadi salah satu rukun Islam.
Dengan menjalankan puasa, ketakwaan umat Islam diharapkan meningkat. Ramadan menjadi bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam.
Keistimewaan Ramadan yang disediakan Allah mendorong umat Islam untuk melakukan amalan sebanyak-banyaknya. Pelbagai reward istimewa telah disediakan Allah bagi orang yang menjalankan puasa Ramadan.
Janji pahala yang berlipat ganda dan surga semakin menguatkan daya tarik Ramadan. Berbagai cara dilakukan untuk meraih pahala yang berlipat.
Bahkan, bagi orang yang gemar menghitung-hitung pahala, ia akan memandang Ramadan dengan pendekatan matematis. Ia akan gunakan kalkulator untuk menghitung janji pahala yang berlipat-lipat.
Katanya, rumus matematika pun berlaku untuk menghitung pahala Ramadan. Berbagai jurus mengejar pahala pun dijalankan. Ini tentu saja sangat positif untuk mendapatkan kemulayaan dari Allah.
Meminjam istilah anak-anak muda sekarang, Islam banget pada saat Ramadan. Sedangkan di luar Ramadan Islam banget pun hilang entah kemana.
Bekal pengetahuan keagamaan kita untuk menjalankan puasa sebenarnya sudah cukup. Kita sudah berkali-kali mendapatkan ilmu puasa melalui ceramah, buku, CD, surat kabar, dan media online.
Pengetahuan kita tentang hukum dan keutamaan puasa tidak perlu diragukan lagi. Kita sudah hapal. Prosesi penyucian diri sebelum Ramadan juga kita lakukan dengan tradisi mandi balimau kasai.
Urusan memaafkan juga telah kita lakukan baik secara virtual melalui short mesage service (SMS), e-mail, facebook dan twiter, maupun secara tradisonal melalui jabat tangan. Kita pun telah berniat untuk menjalankan amalan puasa. Namun persoalannya adalah amalan puasa kita hari ini telah terjebak oleh perangkap industri budaya populer.
Sayangnya, sebagian besar dari kita tidak menyadari bahwa kita sedang melaksanakan puasa di bawah kendali budaya populer.
Budaya populer adalah budaya massa yang mengikuti selera massa yang digerakkan oleh ekonomi kapitalis yang hanya bertujuan untuk meraih keuntungan materi.
Dalam budaya populer, produksi barang tidak lagi hanya bertujuan untuk pemenuhan keperluan manusia tetapi lebih diarahkan untuk memenuhi hasrat atau nafsu manusia.
Bisnis pemenuhan hasrat manusia sangat berkembang pesat saat ini. Iklan telah menyihir manusia untuk berbelanja sebanyak-banyaknya.
Lihatlah iklan di televisi yang terus mendorong Anda untuk berbelanja macam-macam. Belanja tidak lagi untuk memenuhi keperluan tetapi belanja telah menjadi satu cara memenuhi hasrat.
Hasrat itu tak pernah selesai. Setelah dipenuhi ia akan minta lagi. Justru, karena hasrat tidak pernah selesai menjadi peluang bagi indusri budaya populer dalam menjual komoditi.
Ideologi budaya populer menyakini bahwa manusia akan terus memperbarui hasratnya sesuai dengan tren hasrat yang sedang berkembang. Akibatnya, berbagai model handphone, fesyen, rambut, dan benda konsumtif lainnya terus berkembang untuk menarik hasrat manusia.
Alangkah ruginya kita, bila puasa Ramadan yang kita amalkan terperangkap ideologi budaya populer. Dalam puasa, kita dilatih untuk mengendalikan hasrat, sedangkan dalam budaya populer justru hasrat itu yang dibangkitkan.
Semakin bangkit hasrat manusia, maka semakin memberikan keuntungan materi dalam industri budaya populer. Jeratan budaya populer saat ini sangat dahsyat.
Ia telah merasuki domain agama, termasuk puasa Ramadan yang sangat spiritual. Harapan nilai-nilai kesucian yang terdapat dalam agama telah ternodai ideologi budaya populer.
Akibatnya, keberagamaan kita tidak lagi bersifat substantif tetapi telah menjadi superfisial. Ibadah yang kita amalkan bersifat administratif untuk menggugurkan dosa dan mengharapkan pahala.
Jeratan industri budaya populer menyebabkan amalan puasa bersifat paradoksial. Artinya, hakikat dan syariat puasa berlawanan dengan praktik puasa.
Kita tetap berpuasa untuk menahan makan dan minum, tetapi nilai-nilai asas yang terdapat dalam puasa seperti pengendalian diri, hemat, peduli ke sesama, iman dan takwa terdistorsi oleh hantaman budaya populer.
Daya rusak budaya populer bagaikan virus yang terus merusak sel-sel keimanan manusia. Amalan puasa Ramadan ternodai konsumerisme karena kegagalan kita dalam mengelola hasrat.
Dalam jeratan budaya populer, Ramadan tidak lagi dianggap sebagai bulan spiritual untuk peninggkatan derajat ketakwaaan. Sebaliknya Ramadan dirancang dan dikemas sebagai komoditi yang menarik untuk didagangkan. Ini sangat bahaya.
Gaya hidup konsumtif dimulai pada saat menjelang Ramadan. Hiruk pikuk Ramadan ditandai dengan maraknya iklan di televisi yang menawarkan berbagai produk untuk Ramadan dan Idul Fitri.
Perilaku konsumtif akan mencapai puncaknya pada saat menjelang hari raya Idul Fitri. Orang akan berlomba-lomba untuk memenuhi keinginan mereka.
Kuatnya arus konsumerisme telah memberikan dampak negatif terhadap amalan Ramadan dan Idul Fitri.
Akibatnya, pelaksanaan puasa dan Idul Fitri yang berazaskan spiritual cenderung bersifat material sehingga mendistorsi hakekat puasa itu sendiri. Semoga puasa Ramadan dapat meredamnya. Amin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar